Tuesday, October 2, 2007

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.

DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.

SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.

Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

PENGEMBANGAN ALAT UKUR NON TES DALAM PENELITIAN KUANTITATIF

Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 4:07 am on Monday, June 11, 2007

Pengembangan alat ukur merupakan bagian dari langkah kuantifikasi sebagai dasar dari pengukuran (measurement) dalam penelitian kuantitatif terhadap setiap variabel yang dilibatkan dalam penelitian. Pengembangan alat ukur dalam penelitian kuantitatif merupakan langkah lanjutan setelah dirumuskannya masalah yang mencakup nama-nama variabel yang akan dipecahkan melalui penelitian, hipotesis, dan penentuan metode penelitian. Penjelasan mengenai alat ukur yang dalam penelitian ilmiah disebut juga instrumen dapat dilakukan berdasarkan teori-teori yang membahas tentang variabel tersebut. Jadi, apabila suatu variabel tidak didukung teori apalagi paling tidak oleh batasan-batasan yang ditulis oleh para ahli, maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak konseptual. Hal ini mungkin disebabkan oleh kekeliruan peneliti dalm memberi nama variabel atau mungkin juga karena yang dipilih tersebut bukan variabel, tetapi fakta. Seperti sudah dijelaskan dalam topik tentang kriteria rumusan masalah ilmiah, yaitu dirumuskan dalam kalimat tanya, minimal berisi dua variabel atau lebih dan variabel-variabel tersebut harus measurable (dapat diukur) dan manageble. Agar variabel tersebut dapat diukur maka variabel itu harus konseptual, agar konseptual maka variabel tersebut dapat dirumuskan definisi konsepnya berdasarkan hasil pemikiran atau logika berpikir sintesis yang didasarkan pada deskripsi-deskripsi teoretis. Didalam definisi konsep inilah juga disebutkan beberapa dimensi atau indikator-indikator sebagai dasar untuk mengembangkan butir-butir sesuai dengan apa yang hendak diukur.Berdasarkan definisi konsep dan definisi operasional tentang variabel yang akan diteliti itu dapat disusun tabel spesifikasi (memimjam istilah Anastasi, 2002, table of specification) atau dikenal juga dengan sebutan kisi-kisi. Kisi-kisi inilah sebenarnya dapat dikatakan sebagai validitas isi (content validity) yang mencerminkan sebagai ukuran terhadap suatu variabel tentang apa yang seharusnya diukur.

Indikator-indikator tersebut dapat dirumuskan dengan perwujudan semacam perilaku sehingga memudahkan untuk mengembangkan butir-butir dan dari satu variabel mungkin dibentuk oleh 3 dimensi, sesuai dengan teori, dari 3 dimensi ini masing-masing dapat dicirikan oleh 4 indikator atau lebih sehingga variabel ini dapat diukur berdasarkan 3 x 4 indikator sama dengan 12 indikator. Dari 12 indikator ini mungkin dapat dikembangkan 24 sampai 36 butir, sehingga duplikasi pernyataan atau pertanyaan setiap butir dapat dihindarkan karena penyusunannya didasarkan pada kisi-kisi.Selanjutnya, pengumpulan data belum dapat dilakukan karena alat ukur tersebut perlu diuji cobakan terlebih dahulu. Data hasil uji coba digunakan untuk mengkaliberasi butir-butir dengan menghitung validitas butir mengunakan rumus koefisien korelasinya Pearson Product Moment (PPM) bila skoringnya bukan dikhotom, misalnya menggunakan 1-2-3-4-5, namun bila skoringnya dikhotom seperti 1-0, maka digunakan rumus point bi-serial. Jadi kemungkinan ada beberapa butir gugur sehingga harus dibuang, sehingga disarankan menyusun minimal 30 butir agar ada banyak butir yang masih tersisa bila ada butir-butir yang gugur. Kriteria butir gugur dapat dipelajari saat dibahas contoh perhitungan validitas butir di sesi berikutnya.Ada cara lain yang lebih mendalam selain menghitung validitas butir yaitu menghitung validitas construct melalui analisis faktor sehingga dapat diketahui butir-butir yang disusun itu loading difaktor mana setelah dirotasi. Ada juga dengan cara menghitung validitas konvergen dan validitas diskriminan melalui analisis multi-trait multi-method, namun cara-cara ini lebih difokuskan apabila ingin mengembangkan sebuah alat ukur untuk variabel tertentu yang mengarah kepada pengembangan alat ukur baku (standard).Alat ukur atau instrumen juga dihitung koefisien reliabilitasnya melalui 3 cara yaitu dengan teknik split half, test-retest, dan alternate form. Cara yang sering dipilih adalah split half karena, dibandingkan dengan kedua cara yang lain, hanya sekali saja menyebarkan alat ukur. Jadi yang di belah (split) adalah antara jumlah skor dari no butir-butir ganjil dengan jumlah skor dari no butir-butir genap. Cara ini akan menghasilkan koefisien reliabilitas konsistensi internal artinya apabila misalnya butir 10 mengukur konsep X maka butir-butir lainnya juga mengukur hal yang sama sehingga instrumen reliable artinya dapat dipercaya. Cara test-retest mengarah kepada koefisien reliabilitas stabilitas.

Namun sekalipun alat ukur sudah dikaliberasi dengan hasil yang memuaskan, akan tetapi instrumen tersebut juga sering disusun dengan banyak kelemahan misalnya adanya ketidakkonsistenan (inconsistent) antara definisi konsep dengan kisi-kisi dan bahkan dengan opsi-opsi pada butir.Misalnya variabel yang diukur efektivitas kerja yang didefinisikan sebagai keberhasilan ….., akan tetapi dalam kisi-kisi dan butir tidak ada satupun indikator keberhasilan, bahkan opsi yang diminta untuk dipilih responden adalah selalu, sering, kadang-kadang dst. Sehingga kalau kasusnya seperti ini maka sering dipertanyakan, apakah responden yang menjawab selalu untuk pernyataan tertentu dapat dikatakan orang itu efektivitas kerjanya tinggi? Contoh lain variabel ketrampilan managerial yang didefinisikan sebagai suatu kemampuan….., namun dalam kisi-kisi tidak tampak indikator-indikator kemampuan, bahkan butir-butir yang dikembangkanpun tidak mengukur kemampuan sepanjang opsi yang dibuat adalah sangat setuju-setuju-tidak berpendapat-tidak setuju-sangat tidak setuju, seperti mengukur sikap. Hal inipun juga dapat dipertanyakan, apakah yang menjawab sangat setuju itu berarti kemampuan managerialnya tinggi, jelas keliru karena yang tepat untuk mengukur kemampuan adalah alat ukur tes. Masih banyak sebenarnya dapat dibahas tentang instrumen ini, namun yang perlu diperhatikan adalah konsistensi antara nama variabel, sintesis teori, definisi konsep dan operasional, kisi-kisi, butir-butir alat ukur, dan opsi atau pilihan yang dipakai, semoga bermanfaat dalam menyusun skripsi, thesis dan atau disertasi.

(Copy right Prof. I Made Putrawan, 9 Juni 2007)

No comments: