Tuesday, October 30, 2007

tugasuntukmengikutiUTSpdmatakuliahevaluasiprogrampendidikan

Resensi Buku Evaluasi Pendidikan

Judul Buku : Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi)
Pengarang : Prof. Dr. Suharsimi Arikunto
Penerbit : PT. Bumi Aksara
Tebal Buku : 310 Halaman
tahun cetakan :


A. Isi Buku

Tolok ukur hasil pendidikan dapat diketahui dengan adanya evaluasi. Evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai pengukuran atau penilaian hasil belajar-mengajar, padahal antara keduanya punya arti yang berbeda meskipun saling berhubungan. mengukur adalah membandingkan sesuatu dan satu ukuran (kuantitatif), sedangkan menilai berarti mengambil satu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk (kualitatif).

Adapun pengertian evaluasi meliputi keduanya.
Meskipun sekarang memiliki makna yang lebih luas, namun pada awalnya pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi belajar siswa. seperti definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950) beliau mengatakan, bahwa evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum ada dan apa sebabnya. Untuk definisi yang lebih luasdikemukakan oleh dua orang ahli lain yaitu Cronbach dan Stufflebeam, definisi tersebut adalah bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.
Yang dibahas dalam buku ini terutama adalah evaluasi pendidikan dalam institusi pendidikan, tetapi mengkhususkan evaluasi hasil belajar. Dalam dunia pendidikan,khususnya dunia persekolahan, penilaian mempunyai makna ditinjau dari berbagai segi:
a. Makna bagi siswa

Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, social yang berbeda. Oleh karena itu dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.

Dengan diadakannya penilaian, maka siswa dapat mengetahui apakah dia telah berhasil mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari pekerjaan menilai ini ada dua kemungkinan, memuaskan atau tidak memuaskan.


b. Makna bagi guru

Guru merupakan komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk meciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajaran. Guru adalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. oleh karena itu untuk menutupi kelemahan guru perlu dilakukan pembinaan dan penataran dalmrangka melaksanakan pembelajaran
Dengan hasil penilaian yang diperoleh guru akan dapat mengetahui siswa mana yang sudah berhak melanjutkan pelajarannya karena sudah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswayang belum berhasil menguasai bahan. Dengan petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya pada siswayang belum berhasil. Apalagi jika guru tahu sebab-sebabnya.


c. Makna bagi sekolah
Apabila guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya,dapat diketahui pula apakah kondisi belajar yang diciptakan sekolah sudah sesuai harapan atau belum, karena hasil belajar merupakan cermain kualitas suatu sekolah.


Dan guru dapat melakukan evaluasi program dengan lebih seksama, terlebih dahulu hendaknya menyusun rencana evaluasi sekaligus menyusun instrument pengumpulan data. Instrument pengumpulandat bisa berupa angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan dan lain sebagainya. Sebagai cara yang paling sederhana adalah menagadakan pendekatan terhadap peristiwa yang dialami sehari-hari di kelas.


Sasaran evaluasi
1. Input
Input merupakan aspek yang bersifat rohani yang setidak-tidaknya mencakup empat hal yaitu: Kemampuan, Kepribadian, sikap dan inteligensi.

Dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.


2. Transformasi
Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian meliputi: kurikulum atau materi, metode dan cara penilaian, sasaran pendidikan/media, sistem administrasi, guru dan personal lainnya.
3. Output
Penilaian terhadap lulusan suatu sekolah dilakukan untuk mengetahui sebeapa jauh tingkat pencapaian/prestasi belajar mereka selama mengikuti program. Alat yang digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut tes pencapaian atau achievement test.

Prinsip dan Alat Evaluasi
Ada satu prinsip umum dan penting dalam kegiatan evaluasi, yaitu adanya triangulasi atau hubungan erat ketiga komponen yaitu antara tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran/KBM dan evaluasi.
Dalam pengertian umum, alat adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang dalam melaksanakan tugas atau mencapai tujuan lebih efektif dan efisien. Dengan pengertian tersebut maka alat evaluasi dapat dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi suatu yang dievaluasi dengan hasil seperti keadaan yang dievaluasi. Dalam menggunakan alat tersebut evaluator menggunakan cara/tehnik, dan oleh karena itu dikenal dengan tehnik evaluasi.
Ada dua tehnik dalam evaluasi, yaitu tehnik tes dan non tes.

Ciri-ciri tes yang baik

Sebuah tes yang dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memilki persyaratan tes, yaitu memiliki:
a. Validitas
Sebuah tes disebut valid apabila tes tersebut dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Contoh, untuk mengukur partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar, bukan diukur melalui nilai yang diperoleh pada waktu ulangan, tetapi dilihat melalui: kehadiran, terpusatnya perhatian pada pelajaran, ketepatan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru dalam arti relevan pada permasalahannya.
b. Reliabilitas
Berasal dari kata asal reliable yang artinya dapat dipercaya. Tes dapat dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukan ketetapan. Jika dihubungkan dengan validitas, maka: Validitas adalah ketepatan dan reliabilitas adalah ketetapan.
c.Objektivitas
Sebuah dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi. hal ini terutama terjadipada sistem scoringnya. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka objektivitas menekankan ketetapan pada sistem scoringnya, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes.
d. Prakitikabilitas
Sebuah tes dikatakan memiliki praktibilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis dan mudah pengadministrasiannya. tes yang baik adalah yang: mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
e. Ekonomis
Yang dimaksud ekonomis disini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.

Ø Kelebihan buku

Ø bahasa buku mudah untuk kita pahami

Ø Penjelasan materi disertai dengan contoh-contohnya.

Ø buku ini sangat bermamfaat pagi para dan calon guru (pendidik)

Ø terdapat petunjuk untuk membuat tes yang baik serta menilai.

Ø Tidak membuat binung para pembaca

Ø Edisi revisi lebih mudah untuk kita pahami dari sebelumny.

Ø Kelemahan Buku

Ø Tidak diiringi ilustrasi, sehingga kurang menarik minat baca

Ø Terlalu tebal sehingga menimbulkan kebosanan

Ø saran
setiap guru atau para calon guru hendaknya memiliki buku ini, karena buku ini ber isi tentang panduan-pnduan dalam membuat tes untuk evaluas baik dalam proses belajar-mengajar, untuk pertengahan semester maupun untuk akhir semester. ini membantu para guru atau calon guru dalam proses belajar mengajar serta untuk mengetahui hasil akhir yang akan dicapai dari kegiatan pembelajara Dengan demikian tujuan pembelajaran akan diperoleh.

tugaskeduaevaluasiprogrampendidikan

Dasar-dasar Penilaian Berdasarkan Konsep Islam

A.Adil

Ukuran moral adalah nilai-nilai yang terkandung didalam dan sesuai dengan hakekat adil. Adil adalah memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Sikap dan perbuatan yang mendahulukan kepentingan sendiri atau golongannya ialah merupakan salah satu penyelewengan terhadap moral keadilan.

Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak.

Dalam literatur islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk menunjukan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.

Keadilan terjadi berdasarkan keputusan akal dan konsultasikan dengan agama. Keadilan yaitu menetapkan dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu dan kodratnya yang seimbang.

Demikian penting masalah keadilan dalam pelaksanaan hak dan juga kewajiban, Allah berfirman dalam surat al-Nahl yang artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dam berbuat kebaikan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran danpermusuhan”.

Dengan demikian jelas, ayat diatas menempatkan keadilan sejajar dengan berbuat kebaikan, memberi makan kaum kerabat, melarang dari berbuat kejidan munkar serta menjauhkan permusuhan. Dengan ini menunjukan bahwa masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak sebagai suatu kewajiban moral.


Sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat:90, yang artinya:
"sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa kita harus berlaku adil terhadap siapa dan apa saja, begitu pula dalam menilai kita harus adil, dalam arti menilai tanpa harus membedakan suku, agama, bangsa dll. Adil dalam menilai adalah sesuai dengan kemampuan atau kualitas sesuatu yang kita nilai tersebut termasuk ketika kita menilai kemampuan atau diri kita sendiri secara objektif.
Dalam ayat ini pun Allah melarang kita dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan yang ditimbulkan ketika kita tidak berlaku adil terhadap sesuatu, dan dalam penialain pun sama seperti ini, ketika kita tidak berlaku adil dalam menilai maka hal ini dapat menimbulkan hal -hal yang tidak baik seperti yang disebutkan di atas, semoga
kita dapat berlaku adail dalam menilai apa pun dan siapa pun.

B.Jujur
Kejujuran adalah pilar utama keimanan, kesempurnaan kemulyaan, saudara, keadilan, roh pembicaraan, lisan kebenaran, sebaik-baik ucapan hiasan perkataan sebenar-benar pembicaraan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kejujuran adalah ketulusan kelurusan hati; kejujuran merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Kejujuran juga merupakan karakteristik para Nabi, tanpa kejujuran kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.

Jujur adalah lurus hati, tidak curang, ikhlas; mereka itulah orang-orang yang disegani. Jujur (sidq) merupakan kemulyaan di antara banyak sikap mulia dan merupakan dasar dari segala prilaku. Sifat jujurlah yang akan mampu menyelesaikan permasalahan secara baik, karena orang yang mempunyai sifat ini akan mendapat derajat tinggi di masyarakat. Kejujuran akan menjadi ukuran kepercayaan mereka dan secara alamiah setiap orang akan lebih menyukai orang yang bersifat jujur daripada oarng yang pendusta.

Bentuk kejujuran tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam bentuk keyakinan dan amal perbuatan. Jujur dalam perbuatan adalah adanya kesesuaian antara ucapan dan hati nurani dan sesuai pula dengan kenyataan. Hal ini merupakan tuntutan untuk berkata sesuai dengan pendirian dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya.

Jujur dalam keyakinan adalah apa yang di yakininya itu hendaklah sesuai dengan dasar yang ada dalam kenyataan. Keyakinan di sini dapat berupa kenyataan dari perbuatan, ataupun kenyataan yang berupa kebenaran-kebenaran yang disaksikan, yaitu yang berupa peristiwa sosial maupun fenomena alam semesta.

Jujur harus diwujudka dalam bentuk amal perbuatan yaitu dengan cara kesesuaian perbuatan nyata dengan apa yang ada dalam hatinya. Dengan kesesuaian ini maka ia menjadi sangat tulus dalam berbuat, niatnya hanya untuk kemaslahatan tidak disusupi unsur-unsur kemunafikan.

Jujur adalah ruhnya amal, penghapus kejahatan pencabut rasa takut dan pintu yang mengantarkan seseorang menghadap kehadirat Tuhan. Dengan demikian jujur adalah kunci keberhasilan dan merupakan tujuannya. Orang yang mampu menjalankan kejujuran, maka mereka itulah orang yang benar dalam ucapan, perbuatan dan sikapnya.

Berlaku jujur dalam penilaian adalah mengatakan atau menyebutkan atau menuliskan apa yang kita lihat dan dapat kita nilai sesuai dengan keadaan yang ada tanpa harus ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat:105, yang artinya:
"Sesungguhnya yang mengadakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta."
Sesuai dengan ayat ini sungguh pun Allah menyuruh kita kepada perbuatan jujur, termasuk dalam hal ini penilaian yang kita lakukan harus memegang kepada poin penting ini yaitu jujur dalam melakukan penilaian sesuai dengan apa yang kita lihat atau rasakan.

3. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab dengan apa yang kita perbuat adalah hal yang harus dilakukan oleh setiap manusia, baik mempertanggungjawabkan kepada sesama manusia itu sendiri terlebih lagi kepada Yang Maha Esa. Bertanggung jawab atas apa yang telah kita nilai atau dalam penilaian adalah hal yang sangat penting agar kita selalu berhati-hati dalam setiap perbuatan karena hal sekecil apa pun yang kita lakukan akan kita pertanggung jawabkan. Sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Zalzalah ayat:7-8 , yang artinya:
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat Zarah pun, niscaya dia akan melihat(balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Tingkah laku yang di dasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti bertingkah laku berdasarkan kesadaran dan bukan instingtif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia yang merupakan objek material etika.

Dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa tindakan tersebut sesuai dengan tuntutan kata hati itu.

Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakan itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu jika di katakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagi orang yang tidakbertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Uraian diatas menunjukan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang di lakukan dengan kesadaran. Selain itu tanggung jawab juga sangat erat hubungannya dengan hati nurani yang ada dalam diri manusia yang selalu menyalurkan kebenaran.


4. Larangan berbuat zhalim
Perbuatan zhalim sekecil apa pun akan merugikan orang lain trmasuk dalam proses penilaian atau evaluasi. Selain itu perbuatan zhalim juga sangat dibenci oleh Allah. Dalam proses evaluasi seorang evaluator atau tester tidak boleh berbuat zhalim atau menzhalimi sesuatau hanya karena apa dan siapa yang dia nilai tidak mempunyai hubungan baik sebagai saudara, teman atau apa pun. dan ornag yang berbuat zhalim tidak akan mendapat pertolongan dari siapa pun. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran:
"Dan mereka menyembah selain Allah apa yang Allah tidak menurunkan keterangan tentang itu, dan apa yang mereka sendiri tiada mempunyai pengetahuan terhadapnya. dan bagi orang-orang yang zhalim sekali-kali tidak ada seorang penolongpun."(QS.al-Hajj ayat: 71)

Prasyarat yang tersebut di atas mutlak harus kita lakukan dalam proses penilaian karena jika tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta dapat merugikan orang lain dan diri sendiri. Semoga kita dapat menjadi penilai yang baik dengan memegang dasar-dasar atau prasyarat tersebut serta menilai secara objektif dan jauh dari sifat subjektif sekalipun dalam menilai diri sendiri, karena hal ini jika tidak dilakukan

Tuesday, October 2, 2007

tugaskeempatevaluasiprogrampendidikan

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.

DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.

SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.

Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

PENGEMBANGAN ALAT UKUR NON TES DALAM PENELITIAN KUANTITATIF

Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 4:07 am on Monday, June 11, 2007

Pengembangan alat ukur merupakan bagian dari langkah kuantifikasi sebagai dasar dari pengukuran (measurement) dalam penelitian kuantitatif terhadap setiap variabel yang dilibatkan dalam penelitian. Pengembangan alat ukur dalam penelitian kuantitatif merupakan langkah lanjutan setelah dirumuskannya masalah yang mencakup nama-nama variabel yang akan dipecahkan melalui penelitian, hipotesis, dan penentuan metode penelitian. Penjelasan mengenai alat ukur yang dalam penelitian ilmiah disebut juga instrumen dapat dilakukan berdasarkan teori-teori yang membahas tentang variabel tersebut. Jadi, apabila suatu variabel tidak didukung teori apalagi paling tidak oleh batasan-batasan yang ditulis oleh para ahli, maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak konseptual. Hal ini mungkin disebabkan oleh kekeliruan peneliti dalm memberi nama variabel atau mungkin juga karena yang dipilih tersebut bukan variabel, tetapi fakta. Seperti sudah dijelaskan dalam topik tentang kriteria rumusan masalah ilmiah, yaitu dirumuskan dalam kalimat tanya, minimal berisi dua variabel atau lebih dan variabel-variabel tersebut harus measurable (dapat diukur) dan manageble. Agar variabel tersebut dapat diukur maka variabel itu harus konseptual, agar konseptual maka variabel tersebut dapat dirumuskan definisi konsepnya berdasarkan hasil pemikiran atau logika berpikir sintesis yang didasarkan pada deskripsi-deskripsi teoretis. Didalam definisi konsep inilah juga disebutkan beberapa dimensi atau indikator-indikator sebagai dasar untuk mengembangkan butir-butir sesuai dengan apa yang hendak diukur.Berdasarkan definisi konsep dan definisi operasional tentang variabel yang akan diteliti itu dapat disusun tabel spesifikasi (memimjam istilah Anastasi, 2002, table of specification) atau dikenal juga dengan sebutan kisi-kisi. Kisi-kisi inilah sebenarnya dapat dikatakan sebagai validitas isi (content validity) yang mencerminkan sebagai ukuran terhadap suatu variabel tentang apa yang seharusnya diukur.

Indikator-indikator tersebut dapat dirumuskan dengan perwujudan semacam perilaku sehingga memudahkan untuk mengembangkan butir-butir dan dari satu variabel mungkin dibentuk oleh 3 dimensi, sesuai dengan teori, dari 3 dimensi ini masing-masing dapat dicirikan oleh 4 indikator atau lebih sehingga variabel ini dapat diukur berdasarkan 3 x 4 indikator sama dengan 12 indikator. Dari 12 indikator ini mungkin dapat dikembangkan 24 sampai 36 butir, sehingga duplikasi pernyataan atau pertanyaan setiap butir dapat dihindarkan karena penyusunannya didasarkan pada kisi-kisi.Selanjutnya, pengumpulan data belum dapat dilakukan karena alat ukur tersebut perlu diuji cobakan terlebih dahulu. Data hasil uji coba digunakan untuk mengkaliberasi butir-butir dengan menghitung validitas butir mengunakan rumus koefisien korelasinya Pearson Product Moment (PPM) bila skoringnya bukan dikhotom, misalnya menggunakan 1-2-3-4-5, namun bila skoringnya dikhotom seperti 1-0, maka digunakan rumus point bi-serial. Jadi kemungkinan ada beberapa butir gugur sehingga harus dibuang, sehingga disarankan menyusun minimal 30 butir agar ada banyak butir yang masih tersisa bila ada butir-butir yang gugur. Kriteria butir gugur dapat dipelajari saat dibahas contoh perhitungan validitas butir di sesi berikutnya.Ada cara lain yang lebih mendalam selain menghitung validitas butir yaitu menghitung validitas construct melalui analisis faktor sehingga dapat diketahui butir-butir yang disusun itu loading difaktor mana setelah dirotasi. Ada juga dengan cara menghitung validitas konvergen dan validitas diskriminan melalui analisis multi-trait multi-method, namun cara-cara ini lebih difokuskan apabila ingin mengembangkan sebuah alat ukur untuk variabel tertentu yang mengarah kepada pengembangan alat ukur baku (standard).Alat ukur atau instrumen juga dihitung koefisien reliabilitasnya melalui 3 cara yaitu dengan teknik split half, test-retest, dan alternate form. Cara yang sering dipilih adalah split half karena, dibandingkan dengan kedua cara yang lain, hanya sekali saja menyebarkan alat ukur. Jadi yang di belah (split) adalah antara jumlah skor dari no butir-butir ganjil dengan jumlah skor dari no butir-butir genap. Cara ini akan menghasilkan koefisien reliabilitas konsistensi internal artinya apabila misalnya butir 10 mengukur konsep X maka butir-butir lainnya juga mengukur hal yang sama sehingga instrumen reliable artinya dapat dipercaya. Cara test-retest mengarah kepada koefisien reliabilitas stabilitas.

Namun sekalipun alat ukur sudah dikaliberasi dengan hasil yang memuaskan, akan tetapi instrumen tersebut juga sering disusun dengan banyak kelemahan misalnya adanya ketidakkonsistenan (inconsistent) antara definisi konsep dengan kisi-kisi dan bahkan dengan opsi-opsi pada butir.Misalnya variabel yang diukur efektivitas kerja yang didefinisikan sebagai keberhasilan ….., akan tetapi dalam kisi-kisi dan butir tidak ada satupun indikator keberhasilan, bahkan opsi yang diminta untuk dipilih responden adalah selalu, sering, kadang-kadang dst. Sehingga kalau kasusnya seperti ini maka sering dipertanyakan, apakah responden yang menjawab selalu untuk pernyataan tertentu dapat dikatakan orang itu efektivitas kerjanya tinggi? Contoh lain variabel ketrampilan managerial yang didefinisikan sebagai suatu kemampuan….., namun dalam kisi-kisi tidak tampak indikator-indikator kemampuan, bahkan butir-butir yang dikembangkanpun tidak mengukur kemampuan sepanjang opsi yang dibuat adalah sangat setuju-setuju-tidak berpendapat-tidak setuju-sangat tidak setuju, seperti mengukur sikap. Hal inipun juga dapat dipertanyakan, apakah yang menjawab sangat setuju itu berarti kemampuan managerialnya tinggi, jelas keliru karena yang tepat untuk mengukur kemampuan adalah alat ukur tes. Masih banyak sebenarnya dapat dibahas tentang instrumen ini, namun yang perlu diperhatikan adalah konsistensi antara nama variabel, sintesis teori, definisi konsep dan operasional, kisi-kisi, butir-butir alat ukur, dan opsi atau pilihan yang dipakai, semoga bermanfaat dalam menyusun skripsi, thesis dan atau disertasi.

(Copy right Prof. I Made Putrawan, 9 Juni 2007)

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.

DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.

SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.

Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

PENGEMBANGAN ALAT UKUR NON TES DALAM PENELITIAN KUANTITATIF

Filed under: Metodologi Penelitian — putrawan at 4:07 am on Monday, June 11, 2007

Pengembangan alat ukur merupakan bagian dari langkah kuantifikasi sebagai dasar dari pengukuran (measurement) dalam penelitian kuantitatif terhadap setiap variabel yang dilibatkan dalam penelitian. Pengembangan alat ukur dalam penelitian kuantitatif merupakan langkah lanjutan setelah dirumuskannya masalah yang mencakup nama-nama variabel yang akan dipecahkan melalui penelitian, hipotesis, dan penentuan metode penelitian. Penjelasan mengenai alat ukur yang dalam penelitian ilmiah disebut juga instrumen dapat dilakukan berdasarkan teori-teori yang membahas tentang variabel tersebut. Jadi, apabila suatu variabel tidak didukung teori apalagi paling tidak oleh batasan-batasan yang ditulis oleh para ahli, maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak konseptual. Hal ini mungkin disebabkan oleh kekeliruan peneliti dalm memberi nama variabel atau mungkin juga karena yang dipilih tersebut bukan variabel, tetapi fakta. Seperti sudah dijelaskan dalam topik tentang kriteria rumusan masalah ilmiah, yaitu dirumuskan dalam kalimat tanya, minimal berisi dua variabel atau lebih dan variabel-variabel tersebut harus measurable (dapat diukur) dan manageble. Agar variabel tersebut dapat diukur maka variabel itu harus konseptual, agar konseptual maka variabel tersebut dapat dirumuskan definisi konsepnya berdasarkan hasil pemikiran atau logika berpikir sintesis yang didasarkan pada deskripsi-deskripsi teoretis. Didalam definisi konsep inilah juga disebutkan beberapa dimensi atau indikator-indikator sebagai dasar untuk mengembangkan butir-butir sesuai dengan apa yang hendak diukur.Berdasarkan definisi konsep dan definisi operasional tentang variabel yang akan diteliti itu dapat disusun tabel spesifikasi (memimjam istilah Anastasi, 2002, table of specification) atau dikenal juga dengan sebutan kisi-kisi. Kisi-kisi inilah sebenarnya dapat dikatakan sebagai validitas isi (content validity) yang mencerminkan sebagai ukuran terhadap suatu variabel tentang apa yang seharusnya diukur.

Indikator-indikator tersebut dapat dirumuskan dengan perwujudan semacam perilaku sehingga memudahkan untuk mengembangkan butir-butir dan dari satu variabel mungkin dibentuk oleh 3 dimensi, sesuai dengan teori, dari 3 dimensi ini masing-masing dapat dicirikan oleh 4 indikator atau lebih sehingga variabel ini dapat diukur berdasarkan 3 x 4 indikator sama dengan 12 indikator. Dari 12 indikator ini mungkin dapat dikembangkan 24 sampai 36 butir, sehingga duplikasi pernyataan atau pertanyaan setiap butir dapat dihindarkan karena penyusunannya didasarkan pada kisi-kisi.Selanjutnya, pengumpulan data belum dapat dilakukan karena alat ukur tersebut perlu diuji cobakan terlebih dahulu. Data hasil uji coba digunakan untuk mengkaliberasi butir-butir dengan menghitung validitas butir mengunakan rumus koefisien korelasinya Pearson Product Moment (PPM) bila skoringnya bukan dikhotom, misalnya menggunakan 1-2-3-4-5, namun bila skoringnya dikhotom seperti 1-0, maka digunakan rumus point bi-serial. Jadi kemungkinan ada beberapa butir gugur sehingga harus dibuang, sehingga disarankan menyusun minimal 30 butir agar ada banyak butir yang masih tersisa bila ada butir-butir yang gugur. Kriteria butir gugur dapat dipelajari saat dibahas contoh perhitungan validitas butir di sesi berikutnya.Ada cara lain yang lebih mendalam selain menghitung validitas butir yaitu menghitung validitas construct melalui analisis faktor sehingga dapat diketahui butir-butir yang disusun itu loading difaktor mana setelah dirotasi. Ada juga dengan cara menghitung validitas konvergen dan validitas diskriminan melalui analisis multi-trait multi-method, namun cara-cara ini lebih difokuskan apabila ingin mengembangkan sebuah alat ukur untuk variabel tertentu yang mengarah kepada pengembangan alat ukur baku (standard).Alat ukur atau instrumen juga dihitung koefisien reliabilitasnya melalui 3 cara yaitu dengan teknik split half, test-retest, dan alternate form. Cara yang sering dipilih adalah split half karena, dibandingkan dengan kedua cara yang lain, hanya sekali saja menyebarkan alat ukur. Jadi yang di belah (split) adalah antara jumlah skor dari no butir-butir ganjil dengan jumlah skor dari no butir-butir genap. Cara ini akan menghasilkan koefisien reliabilitas konsistensi internal artinya apabila misalnya butir 10 mengukur konsep X maka butir-butir lainnya juga mengukur hal yang sama sehingga instrumen reliable artinya dapat dipercaya. Cara test-retest mengarah kepada koefisien reliabilitas stabilitas.

Namun sekalipun alat ukur sudah dikaliberasi dengan hasil yang memuaskan, akan tetapi instrumen tersebut juga sering disusun dengan banyak kelemahan misalnya adanya ketidakkonsistenan (inconsistent) antara definisi konsep dengan kisi-kisi dan bahkan dengan opsi-opsi pada butir.Misalnya variabel yang diukur efektivitas kerja yang didefinisikan sebagai keberhasilan ….., akan tetapi dalam kisi-kisi dan butir tidak ada satupun indikator keberhasilan, bahkan opsi yang diminta untuk dipilih responden adalah selalu, sering, kadang-kadang dst. Sehingga kalau kasusnya seperti ini maka sering dipertanyakan, apakah responden yang menjawab selalu untuk pernyataan tertentu dapat dikatakan orang itu efektivitas kerjanya tinggi? Contoh lain variabel ketrampilan managerial yang didefinisikan sebagai suatu kemampuan….., namun dalam kisi-kisi tidak tampak indikator-indikator kemampuan, bahkan butir-butir yang dikembangkanpun tidak mengukur kemampuan sepanjang opsi yang dibuat adalah sangat setuju-setuju-tidak berpendapat-tidak setuju-sangat tidak setuju, seperti mengukur sikap. Hal inipun juga dapat dipertanyakan, apakah yang menjawab sangat setuju itu berarti kemampuan managerialnya tinggi, jelas keliru karena yang tepat untuk mengukur kemampuan adalah alat ukur tes. Masih banyak sebenarnya dapat dibahas tentang instrumen ini, namun yang perlu diperhatikan adalah konsistensi antara nama variabel, sintesis teori, definisi konsep dan operasional, kisi-kisi, butir-butir alat ukur, dan opsi atau pilihan yang dipakai, semoga bermanfaat dalam menyusun skripsi, thesis dan atau disertasi.

(Copy right Prof. I Made Putrawan, 9 Juni 2007)